greeneryland

ordinary people

Senin, 08 Maret 2010

KENAPA YOUTUBE

Akhir pekan lalu, Havel berkenalan dengan YouTube. Saya mulai dengan membukakan Naruto, film kartun yang digandrunginya. Mendapati cuplikan-cuplikan Naruto, anak sulung saya yang baru enam tahun itu, girang tak kepalang.

Tapi, kegirangan itu harus stop. Pemerintah Indonesia memblokir YouTube. Alasannya, situs tersebut tak mengindahkan permintaan agar Fitna karya Geert Wilders diturunkan.

****

Pada Oktober 2007, YouTube menjadi buah bibir. Google Inc. akhirnya sukses membeli situs layanan video itu dengan merogoh kocek 1,65 miliar dollar AS. Saat transaksi, usia YouTube baru 19 bulan, setelah didirikan Steve Chen (kelahiran 1978), Chad Hurley (1977), dan Jawed Karim (1979).

Dua bulan sebelum akuisisi, The Wall Street Journal menulis, YouTube memuat 6,1 juta video yang membutuhkan sekitar 45 terabytes gudang penyimpanan data. Kini, lebih dari 100 juta video siap dinikmati.

Tak pelak, keberhasilan Google membikin sejumlah perusahaan lain yang dikabarkan juga tertarik membeli seperti Yahoo, Microsoft, News Corp, dan Viacom, gigit jari. Apalagi, kemudian popularitas YouTube memang melejit luar biasa.

Lihat, mendompleng popularitas YouTube, Universitas California, Berkeley, membuka kanal khusus untuk menampilkan rekaman kuliah dan aktivitas kampus. Lebih dari 300 jam sesi kuliah bisa diakses cuma-cuma.

Niscaya, bukan cuma itu. Jika Anda memburu hiburan, YouTube sangat “bersahabat.” Istri saya cukup puas menikmati aksi Duran-Duran, yang pekan ini manggung di Jakarta, hanya dari YouTube (Ia bilang, lebih baik duitnya dibelikan sembako yang harganya terus mencekik leher.)

****

Aneh. Seekor tikus bernama Fitna mesti dibunuh dengan membakar lumbung padi bernama Youtube. Kita dipaksa untuk mudik ke “era kegelapan.” Banyak sampah berceceran, namun di sana tayangan-tayangan mencerahkan juga sangat berlimpah. Bukankah hidup kita senantiasa dikepung aneka pilihan?!

Kini, layar sensor telah dibentangkan. Tentu datangnya dari rasa cemas. Sensor adalah pelembagaan rasa cemas. Penyensor takut ada jiwa-jiwa rapuh yang bakal terguncang dan tercemar.

Sensor hadir karena kita tak sungguh-sungguh percaya bahwa setiap individu punya kedaulatan yang dibangun dari proses belajar dan pengalaman hidup bertahun-tahun. (Pasti, saya tak sedang bicara tentang anak-anak, seperti Havel, yang secara yuridis-formal belum bertanggung jawab atas perbuatannya.)

Mungkin asumsi itu benar, tapi perkenankan saya untuk skeptis. Niat buruk Wilders tak harus dilawan dengan sensor. Banyak jalan menuju Roma. Kemarahan seyogyanya dikelola. Jika tidak, apa bedanya kita dengan si keparat ekstrim kanan itu?

***

Ketika berita tersebut tiba semalam, saya langsung tercenung, “Apa jawaban yang harus diberikan jika Havel minta dibukakan situs itu akhir pekan ini?”

Untungnya, seorang teman berbisik, “YouTube masih bisa diakses. Caranya, bla…bla…bla…” Terbukti. Lalu, langkah pemblokiran itu pun kian terkesan absurd di benak saya.


SUMBER : www.blog.liputan6.com

Minggu, 07 Maret 2010

Blog Untuk 'Jual Diri', Berkembang 2 Tahun Terakhir


Ririn Dumin salah satu remaja yang memanfaatkan media internet untuk mencari popularitas

JAKARTA - Saat ini media blog tidak hanya dimanfaatkan untuk menuangkan ide dan pikiran seorang blogger dalam sebuah tulisan, namun sudah lebih dari itu. Bahkan untuk sekedar mencari popularitas di dunia maya, blog dianggap sebagai lahan yang ampuh untuk menfasilitasi hal tersebut.

Dijelaskan pengamat blog dan internet Enda Nasution, mencari popularitas di kalangan remaja sudah terjadi sejak tahun 1950an. Kala itu radio menjadi primadona bagi remaja saat itu untuk bisa meraih ketenaran. Akan tetapi, Enda menambahkan, seiring berjalannya waktu, semakin beragam tools (alat) yang dipakai untuk mencapai popularitas dengan jalan pintas, termasuk blog, Facebook, Twitter dan YouTube.

"Sebetulnya blog dijadikan media untuk mempromosikan diri sendiri sudah dikenal sejak dua tahun lalu. Namun, belum sebanyak sekarang, karena memang saat itu pengguna blog belum banyak juga. Beda dengan sekarang, dimana internet sudah menyentuh hampir sebagian masyarakat kita," terang Enda, saat berbincang dengan okezone, di Jakarta, Senin (8/3/2010).

Ditambahkan olehnya, sebetulnya media sosial di dunia maya telah mewadahi orang untuk memamerkan kemampuannya, salah satunya yang khusus adalah MySpace. Tetapi MySpace tidak bisa sebesar blog ataupun YouTube.

"Dulu kita mengenal MySpace yang biasanya digunakan menjadi ajang promosi bagi anak band. Tapi sayang, kurang begitu mendapat sambutan yang bagus," tandas Bapak Blogger Indonesia ini.

Cara yang dilakukan seperti Ririn di dalam blognya di rindumenujubintang.blogspot.com, menurut Enda, ada dampak positif namun bisa juga berdampak negatif. Bisa menjadi hal yang positif jika memang yang tujuan yang dicapainya menjadi artis bisa tercapai.

"Namun, akan menjadi negatif ketika para remaja tersebut menggunakan cara-cara yang instan dan tanpa pikir panjang agar bisa meraih popularitas. Karena ya itu tadi, remaja Indonesia kita adalah pemuja popularitas," tukasnya. (tyo)


SUMBER : WWW.OKEZONE.COM